Sabtu, 25 Juni 2011

Iran : Gaza Akan Jadi Kuburan Israel

0 komentar

TEHERAN,MINGGU-Gaza akan menjadi kuburan orang-orang Israel, kata Ketua Parlemen Iran, Ali Larijani, Minggu (4/1) setelah negara Yahudi itu melancarkan serangan darat ke pedalaman wilayah pantai Palestina.

Tank-tank Israel dan pasukan infantri bertempur dengan para pejuang Hamas di Jalur Gaza, Minggu, beberapa jam setelah meluncurkan serangan darat.

Serangan darat ini terjadi setelah delapan hari Israel menggencarkan serangan udara yang mematikan, namun tak berhasil menghentikan serangan-serangan roket kelompok-kelompok Islam terhadap wilayah Israel.

"Zionis menghadapi perlawanan kuat dari rakyat Palestina yang tak gentar ..., kaum Zionis harus mengakui bahwa Gaza akan menjadi kuburan mereka," kata Ketua Parlemen Iran, Ali Larijani seperti dikutip Kantor Berita Mehr, saat berpidato di parlemen.

Para anggota dewan Iran menyahuti ’ganyang Israel, ganyang Zionis,’ kata laporan Mehr. Pernyataan-pernyataan Larijani ini adalah reaksi pertama yang dilontarkan tokoh senior Iran terhadap serangan Israel terhadap Gaza.

Iran tidak mengakui keberadaan Israel. Sementara Israel menuduh Iran memasok persenjataan kepada Hamas. Iran membantah tuduhan itu, dan mengatakan, bahwa pihaknya hanya memberikan dukungan moral terhadap kelompok tersebut.

Serangan-serangan Israel terhadap Gaza telah memicu berulangnya aksi-aksi protes di Teheran, dan di mana-mana di Iran, yang terutama dilakukan oleh para mahasiswa. Para pejabat Iran mengutuk apa yang mereka katakan tidak adanya tindakan internasional, dan sikap yang bias terhadap Israel.

sumber : kompas.com Read more: http://www.maspeypah.co.cc/2010/02/cara-membuat-share-this-post.html#ixzz0uwFhnl9r

Rabu, 08 Juni 2011

Pengertian Tanggung Jawab

0 komentar
Tanggung jawab adalah sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima sesuatu yang di namakan hak.Tanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat penting dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,karena tanpa tanggung jawab,maka semuanya akan menjadi kacau.Contohnya saja adalah jika seorang ayah tidak melakukan tanggung jawabnya mencari nafkah,maka keluarganya akan sengsara. Bagaimanapun juga tanggung jawab menjadi nomor satu di dalam kehidupan seseorang.Dengan kita bertanggung jawab,kita akan dipercaya orang lain,selalu tepat melaksanakan sesuatu,mendapatkan hak dengan wajarnya. Seringkali orang tidak melakukan tanggung jawabnya,mungkin di sebabkan oleh hal hal yang membuat orang itu lebih memilih melakukan hal di luar tanggung jawabnya.Sebagai contohnya,seorang pelajar mempunyai tanggung jawab belajar,sekolah,tapi karena ada game/ajakan teman yang tidak baik untuk bolos sekolah,maka seorang anak itu bisa saja melalaikan tanggung jawabnya untuk bermain/bolos sekolah. Jika kita melalaikan tanggung jawab,maka kualitas dari diri kita mungkin akan rendah.Maka itu,tanggung jawab adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan,karena tanggung jawab menyangkut orang lain dan terlebih diri kita. Read more: http://www.maspeypah.co.cc/2010/02/cara-membuat-share-this-post.html#ixzz0uwFhnl9r

Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda

0 komentar

Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda adalah peristiwa di mana Belanda akhirnya mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan tanggal 27 Desember 1949 saat soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.

Pengakuan ini baru dilakukan pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, oleh Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot dalam pidato resminya di Gedung Deplu. Pada kesempatan itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menlu Hassan Wirajuda. Keesokan harinya, Bot juga menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta. Langkah Bot ini mendobrak tabu dan merupakan yang pertama kali dalam sejarah.

Pada 4 September 2008, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT Kemerdekaan RI. Balkenende menghadiri resepsi diplomatik HUT Kemerdekaan RI ke-63 yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag. Kehadirannya didampingi oleh para menteri utama Kabinet Balkenende IV, antara lain Menteri Luar Negeri Maxime Jacques Marcel Verhagen, Menteri Hukum Ernst Hirsch Ballin, Menteri Pertahanan Eimert van Middelkoop, dan para pejabat tinggi kementerian luar negeri, parlemen, serta para mantan Duta Besar Belanda untuk Indonesia.[1]

Selama hampir 60 tahun, Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (agresi militer) pada 1945-1949 adalah ilegal.

Sebelumnya, pada tahun 1995, Ratu Beatrix sempat ingin menghadiri Peringatan Hari Ulang Tahun RI ke-50. Tapi keinginan ini ditentang PM Wim Kok. Akhirnya Beatrix terpaksa mampir di Singapura dan baru memasuki Indonesia beberapa hari setelah peringatan proklamasi.


Menlu Ben Bot menegaskan, kehadirannya pada upacara Hari Ulang Tahun RI ke-60 dapat dilihat sebagai penerimaan politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada 17-8-1945. Atas nama Belanda, ia juga meminta maaf.

Menlu Belanda Bernard Bot menyampaikan hal itu dalam upacara peringatan berakhirnya pendudukan Jepang di Hindia Belanda, hari Senin 15 Agustus 2005 di kompleks Monumen Hindia, Den Haag. Pernyataan Bot itu juga disaksikan Ratu Beatrix, yang hadir meletakkan karangan bunga.

Bot secara eksplisit mengungkapkan bahwa sikap dan langkahnya tersebut telah mendapat dukungan kabinet. "Saya dengan dukungan kabinet akan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa di Belanda ada kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia de facto telah dimulai 17-8-1945 dan bahwa kita 60 tahun setelah itu, dalam pengertian politik dan moral, telah menerima dengan lapang dada," demikian Bot.

Pengakuan secara resmi soal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 selama ini sulit diterima para veteran, sebab mereka ketika itu setelah tanggal tersebut dikerahkan untuk melakukan Agresi Militer. Baru kemudian pada 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia secara resmi diteken.

Menurut menteri yang lahir pada 21 November 1937 di Batavia (kini Jakarta), itu sikap menerima tanggal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 dalam pengertian moral juga berarti bahwa dirinya ikut mendukung ungkapan penyesalan mengenai perpisahan Indonesia-Belanda yang menyakitkan dan penuh kekerasan. "Hampir 6.000 militer Belanda gugur dalam pertempuran, banyak yang cacat atau menjadi korban trauma psikologis. Akibat pengerahan militer skala besar-besaran, negeri kita juga sepertinya berdiri pada sisi sejarah yang salah. Ini sungguh kurang mengenakkan bagi pihak-pihak yang terlibat," tandas Bot.

Doktor hukum lulusan Harvard Law School itu melukiskan berlikunya pengakuan seputar tanggal kemerdekaan dan hubungan Belanda-Indonesia itu seperti orang mendaki gunung. "Baru setelah seseorang berdiri di puncak gunung, orang dapat melihat mana jalan tersederhana dan tersingkat untuk menuju ke puncak. Hal seperti itu juga berlaku bagi mereka yang terlibat pengambilan keputusan pada tahun 40-an. Baru belakangan terlihat bahwa perpisahan Indonesia-Belanda terlalu berlarut-larut dan dengan diiringi banyak kekerasan militer melebihi seharusnya. Untuk itu saya atas nama pemerintah Belanda akan menyampaikan permohonan maaf di Jakarta," tekad Bot.

"Dalam hal ini saya mengharapkan pengertian dan dukungan dari masyarakat Hindia (angkatan Hindia Belanda), masyarakat Maluku di Belanda dan para veteran Aksi Polisionil," demikian Bot.

Pernyataan Pemerintah Belanda di Jakarta

Selain itu Belanda sesalkan siksa Rakyat Indonesia pasca 17-8-1945, akhirnya mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Belanda pun mengakui tentaranya telah melakukan penyiksaan terhadap rakyat Indonesia melalui agresi militernya pasca proklamasi.

"Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas terjadinya semuanya ini," begitulah kata Menlu Bernard Bot dalam pidato resminya kepada pemerintah Indonesia yang diwakili Menlu Hassan Wirajuda, di ruang Nusantara, Gedung Deplu, Jl Pejambon, Jakarta Pusat. "Fakta adanya aksi militer merupakan kenyataan sangat pahit bagi rakyat Indonesia. Atas nama pemerintah Belanda saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan ini," kata Menlu Belanda Bernard Bot kepada wartawan dalam pidato kenegaraan tersebut, hari Selasa 16 Agustus 2005.

Bot tidak menyampaikan permintaan maaf secara langsung, hanya berupa bentuk penyesalan. Ketika ditanya mengenai hal ini, Bot menjawab diplomatis. "Ini masalah sensitif bagi kedua negara. Pernyataan ini merupakan bentuk penyesalan yang mendalam. Kami yakin pemerintah Indonesia dapat memahami artinya," kilah Bot.

Bot mengakui, kehadiran dirinya merupakan pertama kali sejak 60 tahun lalu di mana seorang kabinet Belanda hadir dalam perayaan kemerdekaan. "Dengan kehadiran saya ini, pemerintah Belanda secara politik dan moral telah menerima proklamasi yaitu tanggal RI menyatakan kemerdekaannya," tukas pria kelahiran Batavia (Jakarta) ini.

Pasca proklamasi, lanjut Bot, agresi militer Belanda telah menghilangkan nyawa rakyat Indonesia dalam jumlah sangat besar. Bot berharap, meski kenangan tersebut tidak pernah hilang dari ingatan rakyat Indonesia, jangan sampai hal tersebut menjadi penghalang rekonsiliasi antara Indonesia dan Belanda.

Meski menyesali penjajahan itu, Belanda tidak secara resmi menyatakan permintaan maaf. Indonesia pun tidak secara resmi menyatakan memaafkan Belanda atas tiga setengah abad penjajahannya.

Pidato ini dilakukan dalam rangka pesan dari pemerintah Belanda terkait peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 RI. Turut hadir Menlu Hassan Wirajuda, Jubir Deplu Marty Natalegawa, dan sejumlah mantan Menlu. Dari pihak Belanda, hadir Dubes Belanda untuk Indonesia dan disaksikan para Dubes dari negara-negara sahabat.

Sikap Pemerintah Indonesia

Menlu Hassan pun hanya mengatakan,"Kami menerima pernyataan penyesalan dari pemerintah Belanda". Saat ditanya apakah dengan menerima penyesalan dari pemerintah Belanda berarti Indonesia memaafkan kejahatan Belanda semasa penjajahan dulu, Hassan tidak membenarkan dan tidak membantahnya. "Kita sudah dengar sendiri dari Menlu Bot. Ini adalah pernyataan yang sensitif. Di Belanda pun untuk menyatakan penyesalan ini menjadi perdebatan sejumlah pihak. Kita harus menghargai sikap Belanda," tutur Hassan.

Acara yang dimulai pukul 19.30 ini berakhir pada pukul 20.15 WIB. Usai menyampaikan pidatonya, kedua Menlu ini saling memotong tumpengan nasi kuning sebagai tanda dimulainya babak baru hubungan Indonesia dan Belanda. (sumber: detikcom)

Read more: http://www.maspeypah.co.cc/2010/02/cara-membuat-share-this-post.html#ixzz0uwFhnl9r

Dampak Invasi Mongol Terhadap Pemerintahan Koryo

0 komentar

PENDAHULUAN

Kerajaan Koryo yang berdiri sejak tahun 900an di semenanjung Korea telah mengalami peperangan melawan berbagai ancaman baik dari dalam wilayahnya sendiri maupun dari bangsa dari luar Korea. Seperti halnya ketika penyerbuan bangsa Mongol pada abad ke-13 yang telah mengakibatkan kehancuran kota-kota dan menyebabkan konflik internal di dalam tubuh Koryo. Walaupun target utama dari invasi Mongol bukanlah Koryo, namun penyerangan dan pendudukan wilayah menjadi penting untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Dikarenakan letak geografis Korea yang berdekatan dengan Jepang dan Cina hal ini dapat dijadikan pertimbangan utama Mongol untuk mewujudkan rencana invasi besar-besaran ke daratan di selatan dan juga di timur laut.

Bangsa Mongol yang dipimpin oleh Gengis Khan pada awal abad ke-13 mulai bangkit untuk berkelana mencari sumber kehidupan ke segala penjuru yang lebih baik untuk bangsa mereka. Gerombolan Mongolia terkenal sangat kejam ketika berhadapan dengan setiap orang yang menghalangi tujuan mereka, maka tidak heran apabila Koryo sangat kesulitan menghadapi mereka sehingga terus menerus dirampok dan dipaksa untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada Mongol.

Sebagian besar Koryo memang pernah diambil alih oleh Mongol namun juga terdapat segelintir kelompok yang melakukan perlawanan. Kelompok perlawanan ini bernama Sambyŏlch’o (patroli Tiga Elit) bersikeras tidak mau tunduk seperti saudara mereka dan kedudukannya terus terdesak hingga ke selatan pulau terluar Korea.

Sementara orang Koryo yang bersedia berdamai dengan Mongol diwajibkan mengikuti pemerintahan utusan mereka dan diharuskan memberi upeti sebagai bukti loyalitas. Pemerintahan Koryo di bawah pengaruh Mongol pun mengalami perubahan sebagai dampak dari invasi tersebut.

LATAR BELAKANG INVASI MONGOL

Dahulu kala bangsa Mongol merupakan bangsa yang suka berpindah-pindah atau disebut orang nomaden. Mereka mampu menempuh jarak perjalanan yang sangat jauh dengan sedikit mengkonsumsi makanan namun kekuatan mereka sangat besar sekali. Sehingga kondisi fisik mereka mampu mengungguli orang-orang lainnya. Orang Mongol zaman dahulu mempunyai ketahanan fisik yang sangat baik. Hal tersebut terbentuk bersamaan dengan kondisi alam Mongolia yang ekstrim jauh dari laut manapun, sedikit hujan dan salju serta udaranya kering.

Modal yang dimiliki Mongol ini dimanfaatkan oleh mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mencari tempat tinggal yang baru. Biasanya mereka terpikat dengan kota-kota yang memiliki banyak makanan, orang kaya, dan wanita. Pencarian akan kebutuhan ini membawa mereka sampai ke selatan yakni Cina serta Korea. Salah satu contohnya pada awal abad ke-13, salah satu dinasti Cina yaitu Jin berhasil dikuasai oleh Mongol. Penyerbuan mereka pun berlanjut ke arah Semenanjung Korea yang terdapat kerajaan Koryo pada sekitar tahun 1230-an. Selain berupaya merampas harta serta memperluas wilayah nampaknya invasi ke Koryo memiliki tujuan yang lain.

Penjajahan Mongol terhadap kerajaan atau kota-kota di Asia maupun Eropa dengan pimpinannya Gengis Khan tidak selalu dilakukan dengan penyerbuan. Pengambilalihan kekuasaan oleh Mongol juga dilakukan dengan cara yang lebih halus. Cara yang dimaksud adalah beradaptasi dengan kebudayaan setempat. Orang Mongol cepat mempelajari kondisi setempat, dengan alasan untuk menguasai wilayah tersebut. Hingga dalam 20 tahun ke depan, bangsa Mongol dapat memperoleh upeti dari pemimpin setempat yang dijajah.

Sebetulnya tujuan awal Mongol adalah menguasai dinasti-dinasti di Cina. Hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain pun dinilai tidak begitu buruk. Contohnya, dengan bangsa Koryo pun mereka pernah bekerja sama dalam satu misi. Kesamaan visi inilah yang membuat keduanya (Mongol dan Koryo) terlibat kontak untuk pertama kalinya. Mongol dan Koryo berusaha untuk mengusir tentara campuran Khitan yang melarikan diri dari Manchuria menyeberangi Sungai Yalu menghindari Mongol. Gabungan serangan dari Mongol-Koryo pada tahun 1219 berhasil memukul mundur Khitan yang bertahan hingga Perbatasan Kangdong, di sebelah timur Pyongyang.

INVASI MONGOL TERHADAP KOREA

Mongol menganggap kemenangan atas Khitan tersebut merupakan berkat bantuan mereka dan Koryo berhak untuk memberi seserahan sebagai tanda balas budi. Bentuk seserahan ini berupa upeti yang harus diberikan tiap tahunnya. Koryo dengan tegas menolak pemberian upeti kepada Mongol karena permintaan upeti dianggap memberatkan. Situasi ini mengawali perselisihan di antara kedua bangsa tersebut, terlebih lagi dengan terbunuhnya utusan Mongol bernama Chu-ku-yü saat pulang dari Koryo di tahun 1225. Insiden tersebut merupakan alasan Mongol untuk menyerang Koryo untuk pertama kalinya pada tahun 1231.

Hubungan baik di antara Koryo dan Mongol akhirnya retak akibat ketamakan dari Mongol dan juga insiden pembunuhan utusan Mongol yang tidak diketahui pelakunya. Hanya karena utusan tersebut diduga baru kembali dari Koryo maka Mongol menuduh bahwa orang Koryo sebagai pelakunya. Padahal bisa saja ini merupakan jebakan untuk memperkeruh konflik di antara keduanya. Namun keduanya sudah merasa kesal satu sama lain dan tidak rela harga diri mereka diremehkan.

Penyerangan pertama dilakukan oleh Mongol yang dipimpin Sartaq pada tahun 1231 di wilayah Kuju (Kusŏng), tetapi tidak dikuasai sepenuhnya karena mereka bergerak ke wilayah pusat di Kaesŏng. Mongol berusaha untuk menguasai pemerintahan Koryo di Kaesŏng dengan meningglkan pemerintahan militer (daruhaci) atas permintaan damai Koryo. Koryo memiliki inisiatif untuk menghadapi Mongol, yaitu dengan cara berdamai. Namun, diam-diam pemerintahan Koryo dipindahkan ke Pulau Kanghwa di tahun 1232 untuk menghindari serangan Mongol. Sebagian besar penduduk lainnya juga ada yang pindah ke bagian pegunungan atau pulau di daerah lepas pantai. Strategi menghindari Mongol ini nampaknya tidak berhasil dan bahkan memperburuk keadaan setelah terbunuhnya Sartaq oleh Kim biarawan Yun-hu di Ch’ŏin-sŏng (Yongin). Hal ini pun menimbulkan penyerangan kedua Mongol terhadap Koryo.

Alasan pemindahan ibu kota Koryo ke Kanghwa merupakan keputusan yang tepat pada awalnya. Dikarenakan letaknya yang jauh serta wilayahnya yang terpisah dari laut merupakan kelemahan terbesar dari Mongol. Bangsa Mongol takut akan laut, dan ini merupakan akibat adaptasi mereka yang terlalu lama di daerah gurun yang tidak memiliki lautan. Usaha Mongol tidaklah berhenti sampai di sini, mereka merencanakan mengeluarkan para pemimpin Koryo dari Pulau Kanghwa dengan cara yang halus.

Orang Mongol hanya bisa menyuruh orang Koryo untuk keluar dari pengasingan mereka namun harus disertai dengan satu syarat. Mongol harus menarik mundur tentaranya dari perbatasan, dengan itu Koryo berkenan keluar. Mongol pun mengajukan tawaran agar Koryo yang harus keluar terlebih dahulu, setelah itu baru tentara Mongol boleh ditarik mundur. Kedua tawaran ini nampaknya tidak ada yang menunjukkan kesediaannya untuk menyerah. Pihak Koryo yang didesak menegaskan pernyataan yang tetap tidak ingin keluar dari Kanghwa dengan kata lain mereka tetap melawan.

Perlawanan terhadap Mongol juga dilakukan tidak hanya dari para pemimpin sipil dan raja Koryo tetapi juga muncul dari pihak tentara. Chi Kwang-su merupakan pemimpin militer Koryo yang sangat didukung rakyat kecil. Pemindahan rakyat Koryo ke wilayah pegunungan dan pulau lepas pantai merupakan inisiatif dari pihak militer. Selain terdapat persediaan pangan yang cukup, daerah tersebut menjadi basis dari perlawanan Koryo terhadap Mongol. Wilayah pengungsian rakyat kecil Koryo tidak mampu bertahan dari serangan Mongol yang dipimpin Jalairtai pada tahun 1254. Akhirnya jatuh banyak korban sebagian rakyat kecil dan hancurnya bangunan kebudayaan yang bersejarah di sana.

Penderitaan rakyat ini membawa dampak yang sangat merugikan bagi Koryo. Selain hancurnya lahan pertanian untuk memasok keperluan pangan dan hancurnya kehidupan petani, rakyat kecil juga enggan untuk mendukung pihak kerajaan. Tekanan pemerintahan Kanghwa yang melakukan pemerasan semakin membangkitkan rasa permusuhan di antara rakyat kecil dan pemerintah. Atas alasan inilah muncul dua kelompok yang memiliki pandangan tersendiri dalam menghadapi Mongol. Terdapat kelompok yang mendukung perdamaian dengan Mongol terutama dari pihak pemerintah Koryo dan yang satu lagi dari pihak rakyat kecil dan Sambyŏlch’o (Three Elite Patrols).

Perselisihan internal dalam kerajaan Koryo yang melibatkan pemerintahan sipil dan pihak oposisi dari militer mempersulit upaya perdamaian yang ingin dicapai. Pemerintah sipil menganggap militer menghambat proses tersebut, untuk itu pihak militer harus dijatuhkan. Pada tahun 1258 pemimpin oposisi terhadap pemerintah dan perlawanan terhadap Mongol yaitu Ch’oe Ui dibunuh oleh Yu Kyŏng dan Kim Chun. Kekuasaan pun beralih kepada Kim Chun yang juga tidak bertahan lama karena Im Yŏn segera mengambil alih kekuasaan dengan membunuh Kim Chun. Pada pemerintahan Im Yŏn, ia menggunakan kekuasaannya untuk menggulingkan Wonjong dan melakukan perlawanan terhadap Mongol. Namun, kebijakannya untuk melawan Mongol tidak didukung oleh masyarakat pada saat itu, ia pun segera dipukul mundur dan tahta pun kembali kepada Wonjong.

Sementara itu perlawanan dari pihak Sambyŏlch’o terus dilakukan untuk mempertahankan harga diri Koryo dari invasi Mongol dan pemerintahan di Kaesong. Sambyŏlch’o terus melakukan upaya pemberontakan dalam bentuk memblokade semua wilayah transit antara Kanghwa dengan wilayah daratan. Mereka juga membuat pemerintahan tandingan dengan raja yang bernama Wang On (masih merupakan keturunan bangsawan).

Kerajaan tandingan ini memperluas pertahanannya ke beberapa pulau terdekat seperti Pulau Chindo apabila dalam keadaan terdesak. Namun, kekuatan Kaesong jauh lebih besar karena bergabung dengan Mongol menyebabkan pemerintahan oposisi di Chindo mengalami kekalahan pada pertengahan 1271dan harus melarikan diri ke Pulau Cheju. Di Pulau Cheju inilah akhir dari Sambyŏlch’o mengakhiri perlawanannya pada tahun 1273. Meskipun kekuatan pemerintah resmi Koryo di Kaesong lebih kuat berkat dukungan Mongol namun semangat perlawanan pasukan militer Sambyŏlch’o tetap membara.

Dampak Invasi Mongol Terhadap Pemerintahan Koryo

Setelah pihak oposisi yang terdiri dari kalangan militer mengalami kekalahan, pemerintahan sipil Koryo semakin berada di bawah kekuasaan Mongol. Segala sesuatunya dikendalikan oleh orang-orang Mongol yang juga ditempatkan di Koryo. Alhasil terdapat perubahan dalam sistem pemerintahan Koryo selama masa pendudukan Mongol. Perubahan ini tidak selalu membawa dampak yang buruk, terdapat juga dampak yang positif.

Di bawah kekuasaan Mongol yang sah, Koryo mengalami perubahan dalam pengadopsian institusi Mongol dan adat istiadat termasuk segala macam dari struktur pemerintahan dan gelar bangsawan sampai pakaian serta gaya rambut kepang ala Mongol. Perubahan yang diberikan Mongol memberi pengaruh kepada hubungan Koryo dengan bangsa lainnya. Hubungan Koryo dengan bangsa lainnya seperti dengan orang Mongol, Muslim, maupun lainnya telah meningkatkan kemampuan dari para penerjemah kerajaan untuk mempelajari bahasa asing.

Perubahan lainnya dalam sistem politik adalah dibentuknya Biro Penaklukan Wilayah Timur yang dikendalikan oleh wakil dari Dinasti Yuan sementara pihak kerajaan Koryo hanya memegang gelar semata. Biro ini memiliki tujuan untuk mengatur strategi dalam rangka penaklukan Jepang setelah gagal dalam invasi sebelumnya. Namun, biro ini gagal dalam pelaksanaannya karena kebangkrutan yang dialami Mongol akibat biaya perang yang berlebihan. Dalam menjalin hubungan kebangsawanan antara Koryo dengan Mongol, diadakan pernikahan pangeran Koryo dengan putri Mongol. Pernikahan ini membuahkan keturunan yang akan memegang tahta Koryo. Dalam hal ini Mongol dianggap mempunyai kesempatan untuk menggulingkan kekuasaan Koryo lewat keturunannya. Selain itu beberapa bangsawan Koryo lainnya dijadikan sandera Mongol serta diasingkan dari keluarga maupun pemerintahan. Maka jalan Mongol untuk menguasai Koryo semakin terbuka lebar.

Sources

Henthorn, William E., A History of Korea. Collier Macmillan Publisher, London, 1971

Lee, Ki-Baik. A New History of Korea. Harvard University Press, Massachusets, 1984

Lukman, Cecilia. Ed. Oxford Ensiklopedia Pelajar, terj. dr. Mary Worrall. Jakarta: PT Intermasa, 1995.

Traditional Korea : A Cultural History

http://koreanhistory.info/Koryo.htm

Read more: http://www.maspeypah.co.cc/2010/02/cara-membuat-share-this-post.html#ixzz0uwFhnl9r