Rabu, 08 Juni 2011

Dampak Invasi Mongol Terhadap Pemerintahan Koryo

0 komentar

PENDAHULUAN

Kerajaan Koryo yang berdiri sejak tahun 900an di semenanjung Korea telah mengalami peperangan melawan berbagai ancaman baik dari dalam wilayahnya sendiri maupun dari bangsa dari luar Korea. Seperti halnya ketika penyerbuan bangsa Mongol pada abad ke-13 yang telah mengakibatkan kehancuran kota-kota dan menyebabkan konflik internal di dalam tubuh Koryo. Walaupun target utama dari invasi Mongol bukanlah Koryo, namun penyerangan dan pendudukan wilayah menjadi penting untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Dikarenakan letak geografis Korea yang berdekatan dengan Jepang dan Cina hal ini dapat dijadikan pertimbangan utama Mongol untuk mewujudkan rencana invasi besar-besaran ke daratan di selatan dan juga di timur laut.

Bangsa Mongol yang dipimpin oleh Gengis Khan pada awal abad ke-13 mulai bangkit untuk berkelana mencari sumber kehidupan ke segala penjuru yang lebih baik untuk bangsa mereka. Gerombolan Mongolia terkenal sangat kejam ketika berhadapan dengan setiap orang yang menghalangi tujuan mereka, maka tidak heran apabila Koryo sangat kesulitan menghadapi mereka sehingga terus menerus dirampok dan dipaksa untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada Mongol.

Sebagian besar Koryo memang pernah diambil alih oleh Mongol namun juga terdapat segelintir kelompok yang melakukan perlawanan. Kelompok perlawanan ini bernama Sambyŏlch’o (patroli Tiga Elit) bersikeras tidak mau tunduk seperti saudara mereka dan kedudukannya terus terdesak hingga ke selatan pulau terluar Korea.

Sementara orang Koryo yang bersedia berdamai dengan Mongol diwajibkan mengikuti pemerintahan utusan mereka dan diharuskan memberi upeti sebagai bukti loyalitas. Pemerintahan Koryo di bawah pengaruh Mongol pun mengalami perubahan sebagai dampak dari invasi tersebut.

LATAR BELAKANG INVASI MONGOL

Dahulu kala bangsa Mongol merupakan bangsa yang suka berpindah-pindah atau disebut orang nomaden. Mereka mampu menempuh jarak perjalanan yang sangat jauh dengan sedikit mengkonsumsi makanan namun kekuatan mereka sangat besar sekali. Sehingga kondisi fisik mereka mampu mengungguli orang-orang lainnya. Orang Mongol zaman dahulu mempunyai ketahanan fisik yang sangat baik. Hal tersebut terbentuk bersamaan dengan kondisi alam Mongolia yang ekstrim jauh dari laut manapun, sedikit hujan dan salju serta udaranya kering.

Modal yang dimiliki Mongol ini dimanfaatkan oleh mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mencari tempat tinggal yang baru. Biasanya mereka terpikat dengan kota-kota yang memiliki banyak makanan, orang kaya, dan wanita. Pencarian akan kebutuhan ini membawa mereka sampai ke selatan yakni Cina serta Korea. Salah satu contohnya pada awal abad ke-13, salah satu dinasti Cina yaitu Jin berhasil dikuasai oleh Mongol. Penyerbuan mereka pun berlanjut ke arah Semenanjung Korea yang terdapat kerajaan Koryo pada sekitar tahun 1230-an. Selain berupaya merampas harta serta memperluas wilayah nampaknya invasi ke Koryo memiliki tujuan yang lain.

Penjajahan Mongol terhadap kerajaan atau kota-kota di Asia maupun Eropa dengan pimpinannya Gengis Khan tidak selalu dilakukan dengan penyerbuan. Pengambilalihan kekuasaan oleh Mongol juga dilakukan dengan cara yang lebih halus. Cara yang dimaksud adalah beradaptasi dengan kebudayaan setempat. Orang Mongol cepat mempelajari kondisi setempat, dengan alasan untuk menguasai wilayah tersebut. Hingga dalam 20 tahun ke depan, bangsa Mongol dapat memperoleh upeti dari pemimpin setempat yang dijajah.

Sebetulnya tujuan awal Mongol adalah menguasai dinasti-dinasti di Cina. Hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain pun dinilai tidak begitu buruk. Contohnya, dengan bangsa Koryo pun mereka pernah bekerja sama dalam satu misi. Kesamaan visi inilah yang membuat keduanya (Mongol dan Koryo) terlibat kontak untuk pertama kalinya. Mongol dan Koryo berusaha untuk mengusir tentara campuran Khitan yang melarikan diri dari Manchuria menyeberangi Sungai Yalu menghindari Mongol. Gabungan serangan dari Mongol-Koryo pada tahun 1219 berhasil memukul mundur Khitan yang bertahan hingga Perbatasan Kangdong, di sebelah timur Pyongyang.

INVASI MONGOL TERHADAP KOREA

Mongol menganggap kemenangan atas Khitan tersebut merupakan berkat bantuan mereka dan Koryo berhak untuk memberi seserahan sebagai tanda balas budi. Bentuk seserahan ini berupa upeti yang harus diberikan tiap tahunnya. Koryo dengan tegas menolak pemberian upeti kepada Mongol karena permintaan upeti dianggap memberatkan. Situasi ini mengawali perselisihan di antara kedua bangsa tersebut, terlebih lagi dengan terbunuhnya utusan Mongol bernama Chu-ku-yü saat pulang dari Koryo di tahun 1225. Insiden tersebut merupakan alasan Mongol untuk menyerang Koryo untuk pertama kalinya pada tahun 1231.

Hubungan baik di antara Koryo dan Mongol akhirnya retak akibat ketamakan dari Mongol dan juga insiden pembunuhan utusan Mongol yang tidak diketahui pelakunya. Hanya karena utusan tersebut diduga baru kembali dari Koryo maka Mongol menuduh bahwa orang Koryo sebagai pelakunya. Padahal bisa saja ini merupakan jebakan untuk memperkeruh konflik di antara keduanya. Namun keduanya sudah merasa kesal satu sama lain dan tidak rela harga diri mereka diremehkan.

Penyerangan pertama dilakukan oleh Mongol yang dipimpin Sartaq pada tahun 1231 di wilayah Kuju (Kusŏng), tetapi tidak dikuasai sepenuhnya karena mereka bergerak ke wilayah pusat di Kaesŏng. Mongol berusaha untuk menguasai pemerintahan Koryo di Kaesŏng dengan meningglkan pemerintahan militer (daruhaci) atas permintaan damai Koryo. Koryo memiliki inisiatif untuk menghadapi Mongol, yaitu dengan cara berdamai. Namun, diam-diam pemerintahan Koryo dipindahkan ke Pulau Kanghwa di tahun 1232 untuk menghindari serangan Mongol. Sebagian besar penduduk lainnya juga ada yang pindah ke bagian pegunungan atau pulau di daerah lepas pantai. Strategi menghindari Mongol ini nampaknya tidak berhasil dan bahkan memperburuk keadaan setelah terbunuhnya Sartaq oleh Kim biarawan Yun-hu di Ch’ŏin-sŏng (Yongin). Hal ini pun menimbulkan penyerangan kedua Mongol terhadap Koryo.

Alasan pemindahan ibu kota Koryo ke Kanghwa merupakan keputusan yang tepat pada awalnya. Dikarenakan letaknya yang jauh serta wilayahnya yang terpisah dari laut merupakan kelemahan terbesar dari Mongol. Bangsa Mongol takut akan laut, dan ini merupakan akibat adaptasi mereka yang terlalu lama di daerah gurun yang tidak memiliki lautan. Usaha Mongol tidaklah berhenti sampai di sini, mereka merencanakan mengeluarkan para pemimpin Koryo dari Pulau Kanghwa dengan cara yang halus.

Orang Mongol hanya bisa menyuruh orang Koryo untuk keluar dari pengasingan mereka namun harus disertai dengan satu syarat. Mongol harus menarik mundur tentaranya dari perbatasan, dengan itu Koryo berkenan keluar. Mongol pun mengajukan tawaran agar Koryo yang harus keluar terlebih dahulu, setelah itu baru tentara Mongol boleh ditarik mundur. Kedua tawaran ini nampaknya tidak ada yang menunjukkan kesediaannya untuk menyerah. Pihak Koryo yang didesak menegaskan pernyataan yang tetap tidak ingin keluar dari Kanghwa dengan kata lain mereka tetap melawan.

Perlawanan terhadap Mongol juga dilakukan tidak hanya dari para pemimpin sipil dan raja Koryo tetapi juga muncul dari pihak tentara. Chi Kwang-su merupakan pemimpin militer Koryo yang sangat didukung rakyat kecil. Pemindahan rakyat Koryo ke wilayah pegunungan dan pulau lepas pantai merupakan inisiatif dari pihak militer. Selain terdapat persediaan pangan yang cukup, daerah tersebut menjadi basis dari perlawanan Koryo terhadap Mongol. Wilayah pengungsian rakyat kecil Koryo tidak mampu bertahan dari serangan Mongol yang dipimpin Jalairtai pada tahun 1254. Akhirnya jatuh banyak korban sebagian rakyat kecil dan hancurnya bangunan kebudayaan yang bersejarah di sana.

Penderitaan rakyat ini membawa dampak yang sangat merugikan bagi Koryo. Selain hancurnya lahan pertanian untuk memasok keperluan pangan dan hancurnya kehidupan petani, rakyat kecil juga enggan untuk mendukung pihak kerajaan. Tekanan pemerintahan Kanghwa yang melakukan pemerasan semakin membangkitkan rasa permusuhan di antara rakyat kecil dan pemerintah. Atas alasan inilah muncul dua kelompok yang memiliki pandangan tersendiri dalam menghadapi Mongol. Terdapat kelompok yang mendukung perdamaian dengan Mongol terutama dari pihak pemerintah Koryo dan yang satu lagi dari pihak rakyat kecil dan Sambyŏlch’o (Three Elite Patrols).

Perselisihan internal dalam kerajaan Koryo yang melibatkan pemerintahan sipil dan pihak oposisi dari militer mempersulit upaya perdamaian yang ingin dicapai. Pemerintah sipil menganggap militer menghambat proses tersebut, untuk itu pihak militer harus dijatuhkan. Pada tahun 1258 pemimpin oposisi terhadap pemerintah dan perlawanan terhadap Mongol yaitu Ch’oe Ui dibunuh oleh Yu Kyŏng dan Kim Chun. Kekuasaan pun beralih kepada Kim Chun yang juga tidak bertahan lama karena Im Yŏn segera mengambil alih kekuasaan dengan membunuh Kim Chun. Pada pemerintahan Im Yŏn, ia menggunakan kekuasaannya untuk menggulingkan Wonjong dan melakukan perlawanan terhadap Mongol. Namun, kebijakannya untuk melawan Mongol tidak didukung oleh masyarakat pada saat itu, ia pun segera dipukul mundur dan tahta pun kembali kepada Wonjong.

Sementara itu perlawanan dari pihak Sambyŏlch’o terus dilakukan untuk mempertahankan harga diri Koryo dari invasi Mongol dan pemerintahan di Kaesong. Sambyŏlch’o terus melakukan upaya pemberontakan dalam bentuk memblokade semua wilayah transit antara Kanghwa dengan wilayah daratan. Mereka juga membuat pemerintahan tandingan dengan raja yang bernama Wang On (masih merupakan keturunan bangsawan).

Kerajaan tandingan ini memperluas pertahanannya ke beberapa pulau terdekat seperti Pulau Chindo apabila dalam keadaan terdesak. Namun, kekuatan Kaesong jauh lebih besar karena bergabung dengan Mongol menyebabkan pemerintahan oposisi di Chindo mengalami kekalahan pada pertengahan 1271dan harus melarikan diri ke Pulau Cheju. Di Pulau Cheju inilah akhir dari Sambyŏlch’o mengakhiri perlawanannya pada tahun 1273. Meskipun kekuatan pemerintah resmi Koryo di Kaesong lebih kuat berkat dukungan Mongol namun semangat perlawanan pasukan militer Sambyŏlch’o tetap membara.

Dampak Invasi Mongol Terhadap Pemerintahan Koryo

Setelah pihak oposisi yang terdiri dari kalangan militer mengalami kekalahan, pemerintahan sipil Koryo semakin berada di bawah kekuasaan Mongol. Segala sesuatunya dikendalikan oleh orang-orang Mongol yang juga ditempatkan di Koryo. Alhasil terdapat perubahan dalam sistem pemerintahan Koryo selama masa pendudukan Mongol. Perubahan ini tidak selalu membawa dampak yang buruk, terdapat juga dampak yang positif.

Di bawah kekuasaan Mongol yang sah, Koryo mengalami perubahan dalam pengadopsian institusi Mongol dan adat istiadat termasuk segala macam dari struktur pemerintahan dan gelar bangsawan sampai pakaian serta gaya rambut kepang ala Mongol. Perubahan yang diberikan Mongol memberi pengaruh kepada hubungan Koryo dengan bangsa lainnya. Hubungan Koryo dengan bangsa lainnya seperti dengan orang Mongol, Muslim, maupun lainnya telah meningkatkan kemampuan dari para penerjemah kerajaan untuk mempelajari bahasa asing.

Perubahan lainnya dalam sistem politik adalah dibentuknya Biro Penaklukan Wilayah Timur yang dikendalikan oleh wakil dari Dinasti Yuan sementara pihak kerajaan Koryo hanya memegang gelar semata. Biro ini memiliki tujuan untuk mengatur strategi dalam rangka penaklukan Jepang setelah gagal dalam invasi sebelumnya. Namun, biro ini gagal dalam pelaksanaannya karena kebangkrutan yang dialami Mongol akibat biaya perang yang berlebihan. Dalam menjalin hubungan kebangsawanan antara Koryo dengan Mongol, diadakan pernikahan pangeran Koryo dengan putri Mongol. Pernikahan ini membuahkan keturunan yang akan memegang tahta Koryo. Dalam hal ini Mongol dianggap mempunyai kesempatan untuk menggulingkan kekuasaan Koryo lewat keturunannya. Selain itu beberapa bangsawan Koryo lainnya dijadikan sandera Mongol serta diasingkan dari keluarga maupun pemerintahan. Maka jalan Mongol untuk menguasai Koryo semakin terbuka lebar.

Sources

Henthorn, William E., A History of Korea. Collier Macmillan Publisher, London, 1971

Lee, Ki-Baik. A New History of Korea. Harvard University Press, Massachusets, 1984

Lukman, Cecilia. Ed. Oxford Ensiklopedia Pelajar, terj. dr. Mary Worrall. Jakarta: PT Intermasa, 1995.

Traditional Korea : A Cultural History

http://koreanhistory.info/Koryo.htm

0 komentar:

Posting Komentar